Aku kembali ke rumah sakit, setelah satu minggu diminta untuk menunggu
hasil tes pemeriksaan kesehatanku. Berawal dari brosur yg aku baca saat
menjenguk teman yang sakit tentang pemeriksaan dini kanker payudara.
Akhirnya aku memutuskan untuk menjalani pemeriksaan tersebut. Rasa takut
merasuki menunggu hasil tesnya, apalagi setelah membaca artikel-artikel
tentang kanker payudara di internet semakin membuatku tidur tak nyenyak 1
minggu ini.
"Ibu Vianca jingga arrumaisha", seorang perawat
memanggil namaku. Aku beranjak dari tempat dudukku dan perawat itupun
mempersilahkan aku untuk masuk keruangan dokter.
Senyum manis dari dokter Widya salsabila membuatku sedikit nyaman berada diruangnya. Dokter yang sama yang kutemui 1 minggu yang lalu. Dia tampak lebih muda dari usianya yang sudah berkepala lima.
"Saya panggil Vie saja yah, lebih bersahabat ketimbang Vianca. ", sambil membalik-balik kertas dihadapannya, yang sepertinya hasil tesku.
Belumlah aku mengiyakan, dia melanjutkan bicaranya"Mba Vie, dari hasil tes histopatologi dan rontgen. berdasarkan kriteria NTM, Maaf... anda mengidap breast cancer stadium II.A. Aku shock, bingung. Air mata seketika menetes. Aku sapu air mataku dengan ujung jilbab yang baru kukenakan 1 bulan ini.
Senyum manis dari dokter Widya salsabila membuatku sedikit nyaman berada diruangnya. Dokter yang sama yang kutemui 1 minggu yang lalu. Dia tampak lebih muda dari usianya yang sudah berkepala lima.
"Saya panggil Vie saja yah, lebih bersahabat ketimbang Vianca. ", sambil membalik-balik kertas dihadapannya, yang sepertinya hasil tesku.
Belumlah aku mengiyakan, dia melanjutkan bicaranya"Mba Vie, dari hasil tes histopatologi dan rontgen. berdasarkan kriteria NTM, Maaf... anda mengidap breast cancer stadium II.A. Aku shock, bingung. Air mata seketika menetes. Aku sapu air mataku dengan ujung jilbab yang baru kukenakan 1 bulan ini.
Dokter widya memegang tanganku erat, "Mba Vie, Ilmu kedokteran sekarang sudah maju. Kanker anda belum menyebar ke kelenjer getah bening. kita bisa melakukan lumpektomi, pengangkatan tumor dan sedikit jaringan yang normal. Saya tahu yang kamu khawatirkan. kamu tak akan memiliki payudara yang sempurna. Tapi itu jalan satu-satunya, bahkan setelah operasi pengangkatan sebaiknya melakukan kemoterapi secara rutin agar sel tumor tidak kembali. kamu bisa melakukan operasi plastik nantinya".
Aku hanya diam sambil menghapus air mataku dengan tisu yang diberikan oleh dokter widya.
"Semua keputusan ada dengan kamu. Perlu kamu ketahui juga, bahwa saya pun pernah terkena Breast cancer . Saya akan support kamu. Kamu bisa bicara dengan keluarga kamu terlebih dahulu. tapi lebih cepat dilakukan operasi akan lebih baik", aku hanya menggangguk mendengar penjelasan dokter widya.
"Selagi kamu pikirkan, saya akan beri kamu resep obat penghambat hormon untuk menekan pertumbuhan sel-sel kanker".
Aku pulang dalam kebingungan, ketakutan, kesedihan dan amarah. Aku mendatangiNYA, pemilik jiwa dan ragaku pada dua pertiga malam. Dalam
sujud panjang aku menangis. Sulit bagiku menerima kenyataan itu.
"Ya Rabb...Kenapa kau beri aku cobaan seperti ini?, semoga ini hanya mimpi. Beri aku keajaiban", rintihku dalam doa. Air mata tak henti-hentinya mengalir. Dadaku sesak.
Aku merenungi diri, Mencoba memahami sebuah ayat dalam alquran. Mungkin ini adalah ujian dari Allah untuk mengetahui bagaimana keimananku. Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
"Ya Rabb...Kenapa kau beri aku cobaan seperti ini?, semoga ini hanya mimpi. Beri aku keajaiban", rintihku dalam doa. Air mata tak henti-hentinya mengalir. Dadaku sesak.
Aku merenungi diri, Mencoba memahami sebuah ayat dalam alquran. Mungkin ini adalah ujian dari Allah untuk mengetahui bagaimana keimananku. Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Suara dering
handphone membuatku terperanjat dari renunganku. Aku seka air mataku.
Siapa yang menelepon pagi buta begini. Aku raih handphoneku yang tergeletak
dikasur. -Dodol- nama yang tertera dilayar handphone.
"Assalamualaikum?", sapaku.
"Walaikumsalam. Je, Are you Oke?"
"Assalamualaikum?", sapaku.
"Walaikumsalam. Je, Are you Oke?"
"Are you oke je?", suara diujung telepon kembali bertanya
Donny pradipta raditya adalah lelaki yang aku kenal sejak berumur 4 tahun. Rumahnya tepat disebelah rumahku. Saat itu, kami baru pindah ke Palembang karena papa pindah tugas. Dia menyapaku ramah. Dia adalah teman pertama yang aku kenal, sejak itu kita berteman baik.
Aku lebih suka memanggilnya dodol. Awalnya aku memanggilnya don, namun yang terdengar lebih sering seperti dol. Karena terbiasa jadinya aku panggil dol dan terdengar nyaman menjadi dodol hingga sekarang. Tadinya donny mau aku panggil abang atau kakak. Karena emang kita terpaut usia 1 tahun. Namun dia menolak. Ntah kenapa... padahal sekolah pun kita berbeda tingkat.
Ketika orang-orang memanggilku vie, dia malah memanggilku Pi. Tapi aku tak suka. Lalu, Dia pun lebih suka memanggilku jeje dari kata jingga. Yah cuma dia yang panggilku jeje dan begitupun cuma aku yang panggil dia dodol. Kita hampir selalu bersama. Kita bersekolah di TK hingga SMA yang sama. Gak ada yang berani gangguin aku, karena ada dia. Badannya yang gede untuk ukuran anak seumurnya membuat dia disegani. Dimana ada dia, maka aku mengekor dibelakangnya. Dia selalu menjadi orang yang pertama ketika aku sedih dan bahagia. semua aku ceritakan, kecuali satu hal. Seperti malam ini, dia tetap menjadi yang pertama ketika aku butuh seseorang.
Donny pradipta raditya adalah lelaki yang aku kenal sejak berumur 4 tahun. Rumahnya tepat disebelah rumahku. Saat itu, kami baru pindah ke Palembang karena papa pindah tugas. Dia menyapaku ramah. Dia adalah teman pertama yang aku kenal, sejak itu kita berteman baik.
Aku lebih suka memanggilnya dodol. Awalnya aku memanggilnya don, namun yang terdengar lebih sering seperti dol. Karena terbiasa jadinya aku panggil dol dan terdengar nyaman menjadi dodol hingga sekarang. Tadinya donny mau aku panggil abang atau kakak. Karena emang kita terpaut usia 1 tahun. Namun dia menolak. Ntah kenapa... padahal sekolah pun kita berbeda tingkat.
Ketika orang-orang memanggilku vie, dia malah memanggilku Pi. Tapi aku tak suka. Lalu, Dia pun lebih suka memanggilku jeje dari kata jingga. Yah cuma dia yang panggilku jeje dan begitupun cuma aku yang panggil dia dodol. Kita hampir selalu bersama. Kita bersekolah di TK hingga SMA yang sama. Gak ada yang berani gangguin aku, karena ada dia. Badannya yang gede untuk ukuran anak seumurnya membuat dia disegani. Dimana ada dia, maka aku mengekor dibelakangnya. Dia selalu menjadi orang yang pertama ketika aku sedih dan bahagia. semua aku ceritakan, kecuali satu hal. Seperti malam ini, dia tetap menjadi yang pertama ketika aku butuh seseorang.
"Kamu habis nangis yah?", tanya donny lagi.
"Kamu kenapa telepon aku malam-malam dol?", aku malah tanya balik.
"Kamu kenapa telepon aku malam-malam dol?", aku malah tanya balik.
"Je,
kamu belum jawab pertanyaan aku. Kamu kenapa?. Jangan bikin aku khawatir"
"Dol... I need a shoulder to cry on", lirihku
"Dol... I need a shoulder to cry on", lirihku
"I wish I were there.... but, you can talk to me", jawab donny.
Aku sudah bisa menenangkan diriku. Hey... donny bukanlah dodol yang dulu. dia sudah berbeda. Gak sepatutnya aku mengobrol malam-malam dengan suami orang, batinku.
"I am ok... aku cuma homesick", Maaf dol, kali ini aku harus bohong lagi padamu.
"Really...?", dia kembali bertanya seakan tak percaya dengan jawabanku.
"hey... kamu kenapa telepon perempuan lain malam-malam?, kemana istri kamu?", aku tertawa kecil mencoba mengalihkan pembicaraan.
"hmmm... ntahlah tiba-tiba aku ingin saja telepon kamu. Aku kangen kamu je, sudah lama kita tidak mengobrol kan?. Aku lagi gak dirumah je, lagi ada pertemuan kantor di Bali.
Aku kangen kamu juga dol. Kangen masa-masa kecil kita. entahlah, aku yang berubah atau kamu yang berubah. yang pasti kehidupan kita telah berubah.
***
0 komentar:
Posting Komentar