21 Feb 2014

Husnudzhon, La Tahzan

Aku menyadari begitu membosankan hidupku hampir 3 Tahun di Jambi. Memiliki rutinitas yang bisa ditebak setiap harinya. Bertemu dengan orang yang sama baik dikantor maupun dirumah. Gedung kantor yang bisa aku lihat dari balik jendela kamarku. bisa dihitung berapa orang yang aku kenal, yah mereka cuma teman-teman kantorku saja. Ada ruang yang kosong dihatiku yang belum mampu kuterjemahkan
Hidayah itu bukan datang tapi di jemput. Biasanya setelah sholat magrib, aku berdoa sekedarnya lalu segera melipat mukena dan sajadahku. Namun kali ini tidak, setelah sholat magrib, aku tafakur disajadahku lama. Tanganku tergerak untuk mengambil alquran yang berada di rak buku dihadapanku. Sudah lama sekali aku tak membacanya. Aku tertegun dan menangis ketika membaca arti dari sebuah ayat Al-Ahzab, 59. Malam itu, aku putuskan untuk berhijab.
Aku malu pada diriku ternyata selama ini aku terlalu sibuk mengejar ilmu dunia. Aku tak begitu mengenal agamaku. sedikit sekali pemahamanku terhadap Islam. aku tahu ruang kosong dihatiku. aku harus mengisi jiwaku dengan ilmu-ilmu agama. Niat itu pun aku sampaikan kepada Dini, teman dekatku dikantor yang seorang akhwat. berkat bantuannya, akhirnya aku bergabung di grup liqo.

Tiga bulan tidak terasa,semenjak ikut liqo. Rutinitasku selama hampir tiga tahun di Jambi pun berubah dan orang-orang yang aku temui pun lebih banyak. Matahari begitu menyengat siang ini. seperti biasa setiap sabtu jam dua siang aku pergi liqo di rumah mba indah, murrobbiku. awalnya begitu berat memulai aktifitas baru ini. apalagi pukul dua siang, waktu yang enak banget untuk tidur siang. Tetapi niat telah ditancapkan, sehingga ghiroh itu pun tak terbendung.
Bertemu dengan orang-orang yang memiliki semangat untuk menambah ilmu agama dan lebih memantaskan diri dihadapan Allah SWT membuatku damai. menjalin persaudaraan karena Allah dengan mereka adalah kebahagian tersendiri bagiku. Jika rasa malas menderaku untuk datang ke liqo. aku ingat-ingat lagi mereka. senyum mereka. Malu kalau aku yang masih sendiri ini tak datang dibandingkan dengan mereka yang semangat datang walaupun harus membawa dua atau tiga anak mereka naik angkot untuk sampai ke rumah murrobi. Rasa rindu menggelayut setelah dua pekan tak bertemu mereka. karena minggu kemarin aku izin tak datang untuk pulang ke Palembang. Aku yang pulang, yang berniat mengutarakan perasaanku. Namun, aku terlambat.
Doa Robitah mengakhiri pertemuan halaqah kami sabtu sore ini. Adzan ashar berkumandang Indah menyejukkan kalbu.
"Mba Vie, sudah sholat ashar jangan langsung pulang yah?", Himbau mba Indah.
"Iya... ada apa mba?, ada penasaran yang menghimpitku
"Ada yang ingin saya bicarakan", aku hanya mengangguk, lalu berlalu ke belakang untuk mengambil air wudhu. Belum ada satu orang pun yang aku beritahu tentang Breast cancer yang aku hidap.  Ashar ini, kupanjatkan doa agar Allah SWT agar memberikan aku kekuatan dan kesabaran atas ujian keimanan ini, memberikan yang terbaik yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan.

"Apa yang mau dibicarakan mba?", tanyaku ke mba indah setelah kelar sholat ashar.
"Begini mba vie, mba vie sudah siap untuk menikah?", mba indah memulai pembicaraan.
"In sya Allah udah siap mba.", Jawabku
"Udah punya calon?", aku menggeleng. 
"Udah pernah taaruf?", aku menggeleng lagi
"Begini... ada Ikhwan, binaannya suami saya. Dia pernah lihat mba vie. Kalo belum ada calon,  Dia mau Taarufan dengan mba vie. Kalo berkenan, mba vie tolong buat proposal taaruf, isinya itu seperti biodata lengkap, keluarga, kriteria pasangan, visi misi menikah dan lain-lain. selengkap-lengkapnya. nanti ditukar dengan punya si ikhwan. Mba vie bisa minta bantu mba dini, tentunya dia sudah berpengalaman."
"Iya mba... nanti saya tanya ke Dini, gimana cara buatnya", Jawabku
"Saya tunggu secepatnya yah, Jangan lupa kasih foto juga yah".mba indah mengingatkan

Langit berwarna jingga, aku pun beranjak pamit pulang ke mba indah. Awal yang baru membuka hati, melupakan abdillah.

Menikah melalui taaruf tak pernah terpikirkan olehku. Apalagi aku baru 3 bulan berhijab dan ikut liqo. Membuat proposal taaruf ternyata tidaklah mudah. Setelah bertanya ke Dini bagaimana caranya membuat proposal dan searching di Google. Aku dengan kebingunganku, mendeskripsikan bagaimana diriku dan pasangan seperti apa yang aku mau. Aku berusaha menjelaskan diriku dengan jujur, pasangan seperti apa yang diidamkan dan kehidupan pernikahan seperti apa yang diimpikan. Menuliskan secara detail riwayat hidup, bahkan penyakit yang diderita. Should I tell the truth? Aku putuskan untuk memulai semaunya dengan kejujuran.

Proposal nikah telah kuberikan kepada mba indah. Satu minggu ini, aku menunggu dengan resah. handphone tak pernah jauh dari pandangan mata. Kupastikan bahwa handphoneku tak mati, kalau saja mba indah menelepon. Benar saja, Handphoneku berbunyi. Mba indah Liqo nama yang tertera di layar handphone.

"Assalamualaikum Vie", sapa mba Indah dari ujung telepon.
"Wa'alaikumsalam", balasku.
"Gimana kabarnya?",
"Alhamdulillah baik, ada apa ya mba?", tanyaku to the point.
"Begini mba vie. Afwan yah, kemarin ana bilang ada ikhwan yang mau taarufan dengan mba vie. setelah membaca proposalnya mba vie. Sudah istikhoroh katanya, namun dia bilang tidak bisa melanjutkan. "
"Oh begitu. Iya mba indah gak apa-apa"
"Afwan yah mba vie. Nanti saya carikan ikhwan yang lain. Mungkin Allah telah mempersiapkan yang lebih baik untuk mba vie."
"Aamiin... iya mba gak apa-apa", ada getir didada.

Bohong kalau tidak ada rasa kecewa dan sedih. Aku menghela nafas panjang. Aku harus berbaik sangka terhadap si ikhwan. Mungkin ada sifat dan karakterku yang tak cocok dengannya, bukan karena riwayat penyakit yang aku cantumkan di biodata taaruf. 

Part 4 He is not into me 
Part 6 Confession No. 2

0 komentar:

Posting Komentar