Ketika saya duduk di kelas 2 SMU, ada 4 orang yang bernama "fitri" di kelas. Semuanya perempuan, termasuk saya. Juga ada 3 orang yang bernama "dian". Ketiganya laki-laki. Entah bagaimana orang-orang TU di SMU saya membagi murid-murid di kelas, saya tidak ingin membahas itu.
Hal yang awalnya tidak begitu menyenangkan, namun menjadi kenangan yg unik bagi saya akan pengalaman ini. Dengan sengaja saya duduk dengan yang bernama "fitri". Lalu kebetulan di depan saya, duduk bernama "fitri" dan di belakang saya pun duduk seorang "fitri". Hal yang memalukan bagi saya adalah ketika ada yang memanggil "fitri" dan kami berempat serempak menoleh. Sedikit keberuntungan bagi saya karena ejaan nama saya dimulai dg huruf "V", sehingga absen saya tdk berdekatan dg mereka. Namun tetap saja bunyinya sama ketika dipanggil "fitri".
Untuk urusan absen tak jadi masalah, namun hal yang mengganggu adalah ketika guru memanggil ke depan kelas untuk mengerjakan soal di papan tulis. Kebanyakan guru hanya akan memanggil "fitri". Refleks, kami berempat langsung menjawab "fitri yang mana bu?".
Memanggil kami dengan embel-embel fisik juga agak sulit. Ada 1 fitri yang berhijab kala itu. Ada 2 fitri yang berkacamata. Ada 3 fitri yang bermata sipit. Ada 2 fitri yang hidungnya pesek. Ada 1 fitri yang lebih tinggi dari yang lain. Yang paling sering dilakukan adalah mencari atau memanggil kami dengan nama lengkap. Namun sayangnya, tak semua teman yg berbeda kelas hafal dengan nama lengkap kami.
Berjalannya waktu, fitri-fitri lebih dikenal dengan nama lain. Ada fitri yang dipanggil "mbah". Ada fitri yang dipanggil "bayem". Ada fitri yang dipanggil "pipit", sedangkan saya saat itu tetap dipanggil fitri(itu yang saya ingat). Tak ada nama beken.
Nama panggilan sering digunakan sebagai pembeda atapun agar lebih dikenal. Nama itu bisa dari diri sendiri ataupun dari orang2 disekitar kita. Sah-sah saja, asal kita senang dan tak merasa tersakiti.
Ketika masih kecil, jaman SD. Sering teman-teman laki2 mengejek dengan memanggil sipit, pesek atau burung pipit kepada saya. Awalnya saya kesal dan marah, yah karena saya belum memiliki pemahaman yang lebih tentang bersyukur dan standar kecantikan.
Namun berjalannya waktu, ketika ada yang bilang saya pesek atau sipit. Tak masalah bagi saya, Begitulah saya. saya bersyukur bahwa saya lahir dengan fisik yang lengkap. Bahwa Allah SWT menciptakan makhluknya dalam bentuk sebaik-baiknya (Qs. At-tin :4). lebih baik dipanggil embel-embel pesek atau sipit, memang kenyataannya begitu daripada dipangil burung pipit. Yah karena saya manusia, bukan binatang.
Masalah saat ini adalah standar manusia tentang keindahan atau kecantikan. Ketika Cantik lawannya Jelek, Mancung lawan katanya Pesek, Belok lawan katanya sipit. Lawan kata tersebut, tak lantas membuat orang yang pesek dan sipit dikategorikan jelek. Itu premis yang salah.
Jika ada yang merasa dihina karena dipanggil pesek sedangkan memang dia pesek, maka sesungguhnya dia merasa tak percaya diri pada dirinya. Bahwa dia memiliki standar bahwa cantik itu mancung. Marahlah ketika dipanggil berlawanan dari dirimu, sungguh itu sebenarnya hinaan.
Jika ada yang marah ketika ada yang memanggil orang lain dengan sebutan pesek dan menganggap itu sebuah sikap yang tidak sopan dan kata-kata yang buruk karena telah mengejek kekurangan orang lain. Maka, sesungguhnya yang bermasalah adalah dirinya. Dia sendiri yang telah menghina. Dia mempunyai standar kecantikan yg umumnya menjadi standar orang kebanyakan. Ingatlah bahwa cantik bukan milik yang mancung saja. Bahwa kamu yang bermasalah karena allah menciptakan makhluknya dengan bentuk sebaik-baiknya. Maka, tak ada makhluk yang kurang bentuknya di mata Allah SWT.
Argh... berhenti memiliki standar bahwa cantik adalah yang kulitnya putih, hidung mancung, mata belok serta tubuh yang ramping. Branding dirimu bukan dengan fisik yang dimiliki, namun dengan kepribadian, skill dan kompetensi.
Love My Self, Love your self.
0 komentar:
Posting Komentar