25 Jul 2017
14 Jul 2017
Alun-Alun Bandung menjadi sarana untuk mengurangi Kecanduan Gawai pada Anak-anak
Ruang bermain terbuka seperti Alun-Alun Bandung menjadi sebuah tempat alternatif yang murah meriah agar anak-anak sejenak melupakan gawai.
Saat ini jutaan anak usia SD sudah kecanduan gawai. Anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama gawai dan merasa kehilangan jika tak ada gawai.
Penggunaan gawai yang berlebihan tentunya akan memberikan dampak yang negatif bagi anak-anak.
Dari segi kesehatan dapat berdampak terhadap kesehatan mata. Selain itu, anak juga menjadi lebih pasif, baik dalam aktivitas fisik maupun sosial. Hal ini dikarenakan anak yang cenderung beraktivitas secara individual saat bermain dengan gawai-nya. Dampak negatif lain, anak-anak dapat terlibat pada kejahatan di dunia maya.
Salah satu yang dapat dilakukan oleh orang tua agar anak-anak tidak kecanduan gawai adalah meluangkan waktu untuk bermain bersama anak-anak di luar rumah. Bagi warga Bandung dan sekitarnya, sebuah tempat alternatif yang dapat dituju yaitu Alun-Alun Bandung. Saat ini, Alun-alun bandung telah menjadi ruang bermain terbuka yang mengasyikkan untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak.
Berdasarkan pengamatan saat mengunjungi Alun-Alun Bandung, berikut tips yang dapat dilakukan agar anak-anak tidak fokus pada gawai:
- Menikmati pemandangan dengan duduk di bangku taman. Berbincang dan membacakan cerita untuk anak-anak.
- Bermain di rumput sintetik juga menjadi alternatif. Beri anak mainan seperti bola atau biarkan dia berlari-lari di rumput, sedangkan orang tua cukup mengawasi dari jauh saja.
- Biarkan anak-anak bermain dengan teman sebaya di sarana bermain seperti perosotan. Hal ini sebuah cara agar anak-anak bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, sehingga anak-anak memiliki teman sebaya yang bisa diajak untuk bermain di dunia nyata.
- Terakhir, ajak anak-anak untuk berfoto mengabadikan moment kebersamaan dan kanak-kanak mereka.
Yuk, mari luangkan lebih banyak waktu untuk bermain bersama anak-anak.
8 Jul 2017
Saya tidak mengerti jalan pikirannya
Saya tidak mengerti jalan pikirannya (kebijakan).
ketika saya mempertanyakan, jawabannya "itu kebijakan sebagai atasan dan
kamu cuma bawahan"
*Ditulis dalam rangka
healing...
Saya tidak pernah meminta untuk diberikan jabatan sebagaimana SK
yang saya terima 4 bulan lalu. ketika lulus kuliah dan kembali bekerja, saya tahu
akan tetap memegang jabatan sesuai dengan jabatan sebelum saya TB. Namun,
ketika awal tahun ada perubahan peta jabatan. Saya meminta agar diberikan
jabatan sesuai dengan background pendidikan saya. Namun, ternyata tidak diindahkan
dengan alasan-alasan, dan tetaplah saya berkutat di keuangan. Padahal salah
satu alasan saya TB, agar tidak kembali berurusan dengan keuangan. Perubahan
jabatan, tetap saja masih berkutat di keuangan dari verifikator menjadi
penyusun lap keuangan.
Beberapa tahun silam, saya diberikan jabatan sebagai bendahara
pengeluaran. Padahal saya tidak punya background pendidikan keuangan. Namun,
karena atasan saat itu percaya akan kemampuan saya dengan melihat pekerjaan
yang diberikan sehari-hari. Saya pun menerima dan bisa mendapatkan ilmu serta
pengalaman yang berbeda. Saya berusaha sebaik mungkin melaksanakan jabatan
tersebut dan saya merasa telah melakukan sebaik mungkin. 2 Tahun menjabat, saya
pun memilih mengundurkan diri (alasannya: it would be easy if everything is
based on the rule but it is not...) dan akhirnya saya diberikan jabatan
verifikator keuangan hingga tahun kemarin.
Saya berusaha mengerjakan semua pekerjaan yang diberikan dengan
baik dan sesegera mungkin walaupun itu bukan tupoksi jabatan. Kembali bekerja,
Saya diberikan pekerjaan lintas seksi (Pelayanan publik) dengan alasan bahwa
saya lulusan S2. Padahal, pendidikan yang saya ambil jauh dari pekerjaan yang
diamanahkan itu. Saya merasa keberatan karena saya tidak terlibat dan tidak
pernah dilibatkan pada kegiatan seksi-seksi tersebut. Tapi Perintah atasan
sudah dinisbahkan, saya pun mengerjakannya.
Saya pernah“disemprot” karena blm mengerjakan sebuah surat dari
OHH terkait pelayanan publik. Saya berargumen bahwa saya tidak menerima
disposisi surat tersebut. Karena atasan tidak ingin disalahkan, dia bilang “kamu
lihat di email kantor dong”. Disini saya mulai gak mengerti dengan jalan
fikirannya. Setelah meminta password dari teman, saya mencari surat yang
dimaksud. Wah... ternyata surat itu sudah lama sekali dan ketika saya tanyakan
bagian yang mengurusi surat masuk, tidak ada surat tersebut (Begini nih kalo
banyak yang buka email kantor). Rasanya pengen nangis waktu ngebaca surat
tersebut. Deadline tinggal beberapa hari dan yang diminta membuat proposal. Duh
bikin proposal tesis aja 1 semester. Pulang kantor nangis di Sajadah karena gak
tahu mesti nulis apa. Mungkin ini, salah satu keuntungan punya grup angkatan, jadi
bisa nanya-nanya. Alhamdulillah, ternyata yang bertanggung jawab atas program
ini teman 1 angkatan dan dikirimlah contohnya ke email pribadi. Dengan "data yang terbatas" dan
mewawancarai mereka yang terlibat dan berpengalaman pada kegiatan pelayanan tersebut.
Saya mengerjakannya walaupun menurut saya hasilnya gak memuaskan karena
keterbatasan data. Semenjak saat itu, saya mencatat bahwa semua yang berurusan
dengan pelayanan publik menjadi tugas tambahan saya dan saya meminta teman yang
dipusat agar mengirimkan hal-hal yang terkait pelayanan publik langsung ke
email pribadi saya.
Lalu, bagaimana dengan tupoksi utama saya. Ketika ada kegiatan
yang merupakan bagian dari tupoksi saya, malah tidak diberikan kepada saya.
Awalnya dia membuat alasan yang menurut saya gak masuk akal. Lalu akhirnya,
saya beranikan diri untuk menanyakan langsung dengan pejabat di pusat. Ternyata,
alasan yang dia berikan tidak benar. Dia membuat cerita bohong. Ketika saya mengkonfirmasikan
kembali kepadanya bahwa tidak ada rencana dri pusat. Dia bilang itu kebijakan
atasan, kamu bawahan cukup laksanakan saja. Hal ini yang membuat saya gak
mengerti tentang jalan fikirannya.
Bagaimana dengan merealisasikan SKP yang sudah ditargetkan? yang
pasti ada uraian pekerjaan yang tidak tercapai, bukan karena tidak ingin
mengerjakan tapi memang tidak dikerjakan oleh saya.
Minggu ini, pegawai pada sibuk membuat SKP. ketika yang lain
masih berkutat mengisi SKP, saya sudah menyelesaikannya. Bukan karena saya
ingin menjadi yang pertama menyelesaikannya, namun karena masih ada pekerjaan
lain yang memiliki waktu deadline juga. Ketika yang lain masih nyantai, saya
memilih untuk pulang telat dan begadang di rumah menyelesaikan SKP agar saya
bisa fokus dengan pekerjaan lainnya. Namun,
saya tidak bisa menutup mata, ketika ada teman-teman yang meminta tolong untuk
memperbaiki SKPnya karena banyak yang salah menginput dan justru menghapus
rumus-rumus yang ada di aplikasi SKP. Dengan kepala pusing dan hidung meler
karena kurang istirahat, saya pun beranjak ke meja mereka untuk memperbaiki dan
menyelesaikan SKP mereka. Saya menuliskan ini di laporan tugas harian saya
dengan dasar pelaksanaan kesetiakawanan. Untuk mereka yang baik, saya senang
melakukannya. Namun, ada juga yang bikin bete dikiranya saya menganggur apa
setelah menyelesaikan SKP sehingga ketika meminta tolong untuk membuatkan
digital signature maunya cepat. Ketika saya bilang bentar, bilangnya mau dipake
segera karena udah deadline. kemana aja lo????. Ada juga yang bilang kenapa dia
gak dibuatin. Eh.. emang harus bikin pengumuman, saya ma cuma nolong yang minta
tolong bukan tupoksi saya menyediakan itu.
Arghhh... saya tidak mengerti. Saya tidak pernah meminta jabatan
ini, jika dia tidak percaya dengan kemampuan saya. Lalu mengapa dia memberikan
jabatan ini kepada saya?.
Ini bukan tentang DL (enak yah DL mulu). Bukan... iyah enak,
jika DL itu hanya jalan-jalan, foto-foto, dapat uang harian perjadin biasa dan
pulang membuat laporan pelaksanaan tugas yang paling banyak 3 lembar. Tapi kalo
DL harus terlebih dahulu menyiapkan bahan2 yang diminta, pulang-pulang dapat PR
dengan uang harian perjadin fullboard. Yah.. tetap disyukuri karena sudah
konsekuensi dari pekerjaan. Namun, bagi saya ini menyakitkan ketika kemampuanmu
diragukan. Lebih baik tidak dipercaya sama sekali, daripada diragukan akan
kemampuanmu.
Saya jadi teringat dengan alasan penolakan pengajuan kepindahan
saya. Masih dibutuhkan organisasi dan harus menerapkan ilmu yang didapat ketika
TB.
Bagaimana menerapkan ilmu yang didapat ketika TB jika tidak
diberikan ruang?
Bagaimana merasa dibutuhkan oleh organisasi ketika kamu justru
tidak dipercaya atas kemampuanmu.
Apakah saya harus membuat “kasus” agar dipindahkan.
Saya jadi pengen seperti pegawai yang datang ke kantor hanya
absen, lalu menghilang dan datang ke kantor lagi ketika ditelepon atau mau
absen pulang. Toh tetap dapat gaji, tukin dan uang makan. Argh... tapi saya
tidak bisa seperti itu. Kelak, saya akan diminta pertanggungjawabannya.
Ntahlah...., saya cuma “bawahan”.
Ditulis sebagai pengingat bagi saya ketika saya mungkin
mendapatkan amanah menjadi “atasan”. Not
to used this sentences “ini kebijakan atasan, udah gitu aja. Titik, saya gak
mau tahu”
Saya gak mengerti jalan fikirannya, mungkin keterbatasan “knowledge”
saya dan belum mencapai ke tahap “wisdom”
Ntahlah.... minggu ini hari yang berat, menguras fisik dan
fikiran. Saya jadi gak punya semangat untuk mengerjakan baik itu tupoksi utama
ataupun tambahan saya.